Minggu, 01 Maret 2015

Filsafat Pendidikan Islam dan Implikasinya terhadap Pengembangan Kurikulum PAI






PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI
Filsafat Pendidikan Islam dan Implikasinya terhadap Pengembangan Kurikulum PAI








Lambang STAI.gif






Oleh :

Mahda Liska Safitri (12.111.00613)
Muhammad Arif Susanto (12.111.00617)
Normayanti (12.111.00626)







SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-MA’ARIF BUNTOK
TAHUN AKADEMIK 2013/2014




BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Dewasa ini problem-problem moral dan etika manusia semakin menggejala dan masih sukar tuk dipecahkan. Pendidikan yang dijadikan harapan dan tumpuan untuk menjadikan kehidupan yang lebih baik ternyata masih belum berperan secara maksimal.
Bila setiap pengelola dan pelaksana pendidikan memahami tugas dan fungsi pendidikan seharusnya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam penyelenggaraan pendidikan tidak mesti terjadi. Secara sederhana bisa penulis sebutkan bahwa tugas dan fungsi pokok pendidikan ada 2. Pertama, pendidikan adalah proses pengembangan potensi. Oleh karena itu, segala proses pendidikan harus mengarah pada pengembangan potensi peserta didik. Peserta didik harus diberi ruang dan kesempatan untuk berkreasi dan berinovasi sesuai dengan potensi dasarnya. Pendidikan tidak boleh membelenggu apalagi memasung daya kreatifitas anak. Kedua, pendidikan adalah proses pewarisan dan pelestarian budaya. Nilai-nilai luhur yang ada pada generasi sebelumnya harus diwariskan pada anak tanpa mengabaikan nilai-nilai yang selaras dengan perkembangan zaman di mana anak itu hidup. Kedua fungsi tersebut tidak boleh berjalan sendiri-sendiri, melainkan harus berjalan seiring dan seirama.
Dalam rangka mewujudkan kedua fungsi tersebut, pendidikan harus dirumuskan dengan baik dan ideal. Untuk merumuskan pendidikan yang baik dan ideal, salah satu pendekatan yang harus digunakan adalah pendekatan filosofis. Filsafat adalah hal paling mendasar dalam hidup. Oleh karena itu, filsafat selalu menjadi landasan di berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan.
Dari pemaparan di atas, tulisan ini bertujuan membincang kegunaan filsafat, khususnya filsafat pendidikan Islam dalam pengembangan kurikulum PAI. Kurikulum merupakan salah satu faktor terpenting dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian, kurikulum harus dirancang dan disusun secara ideal agar pendidikan berjalan secara efektif dan efisien.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1.      Apa Hakikat Filsafat Pendidikan Islam ?
1.2.2.      Apa saja Tipologi-tipologi Filsafat Pendidikan Islam ?
1.2.3.      Bagaimana Impikasi Filsafat Pendidikan Islam terhadap Pengembangan Kurukulum PAI ?
1.3. Tujuan Pembelajaran
1.3.1.      Mengetahui Hakikat Filsafat Pendidikan Islam.
1.3.2.      Mengetahui Tipologi-tipologi Filsafat Pendidikan Islam.
1.3.3.      Mengetahui bagaimana Impikasi Filsafat Pendidikan Islam terhadap Pengembangan Kurukulum PAI.




BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Hakikat Filsafat Pendidikan Islam
Pada dasarnya tradisi filsafat berasal dari tradisi Yunani yang diadopsi oleh masyarakat Islam. Hal ini Nampak pada aspek etimologis dari kata filsafat. Mayoritas ahli menyatakan bahwa kata filsafat berasal dari Yunani, philos yang berarti cinta dan sophos yang berarti kebijaksanaan. Jadi filsafat adalah cinta kepada kebijaksanaan (pengetahuan). Meskipun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa kata filsafat berasal dari bahasa Arab. Pandangan ini disampaikan oleh Harun Nasution, menurutnya kata filsafat memiliki wazan (pola) fa’lala, fa’lalah, dan fi’lal. Dengan demikian, kata benda falsafa adalah falsafah dan filsaf.
Secara historis, masuknya tradisi filsafat ke dalam kehidupan umat Islam adalah pada saat terjadi gelombang penerjemahan kitab-kitab Yunani pada masa khalifah Al-Makmun. Penerjemahan tersebut selanjutnya mendorong lahirnya tradisi keilmuan di kalangan umat Islam, sehingga pada masa itu Islam mengalami masa kegemilangan dalam bidang keilmuan (golden age).
Pengertian terhadap filsafat sangat beraneka ragam. Tetapi pengertian yang representatif diberikan oleh Sidi  Gazalba sebagaimana yang dikutip Toto Suharto, bahwa filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, atau hakikat mengenai segala yang ada.[1]
Pemaduan filsafat dan pendidikan Islam selanjutnya melahirkan satu disiplin ilmu tersendiri, yakni filsafat pendidikan Islam. Menurut Marimba, ketiga kata tersebut sudah menjadi satu kesatuan yang saling sifat mensifati. Sehingga yang dimaksud filsafat pendidikan Islam adalah filsafat pendidikan yang bercorak Islam.[2]
Dalam pandangan Muzayyin Arifin, filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya adalah konsep berpikir tentang kependidikan yang bersumber atau berlandaskan ajaran agama Islam, tentang hakikat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam, serta mengapa manusia harus dibina menjadi hamba Allah yang berkepribadian demikian. Sarana dan upaya apa sajakah yang dapat mengantarkan pencapaian cita-cita demikian dan sebagainya.[3]
2.2. Tipologi Filsafat Pendidikan Islam
Secara umum tipologi filsafat pendidikan adalah sekelompok teori atau aliran pemikiran di bidang pendidikan. Sehingga tipologi filsafat pendidikan Islam adalah sekelompok teori atau aliran pemikiran di bidang pendidikan Islam.
Menurut Muhaimin, ada 5 macam tipologi filsafat Pendidikan Islam, yang masing-masing tipologi mempunyai parameter, ciri-ciri dan implikasinya terhadap fungsi pendidikan Islam. Kelima macam tipologi tersebut antara lain:[4]
2.2.1. Penerial Esensialis Salafi
Tipologi Penerial Esensialis Salafi adalah tipologi yang lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam era salaf, karena era salaf ini dianggap (dipandang) sebagai masyarakat yang ideal.
Ada beberapa parameter yang ada, antara lain :
a.       Bersumber dari Al-qur’analisis dan Al- sunnah (Hadist).
b.      Regresif ke Masa Salaf.
c.       Konservatif mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai era salaf.
d.      Wawasan kependidikan Islam yang berorientasi ke masa silam (era salaf).
Lebih lanjut, ciri-ciri pemikiran tipologi ini antara lain :
a.       Menjawab persoalan pendidikan Islam dengan konteks wacana salaf.
b.      Memahami nash dengan cara kembali ke salaf secara kontektual.
c.       Memahami ayat dengan ayat lain, ayat dengan hadist, hadist dengan hadist dan kurang adanya pengembangan serta elaborasi.
Adapun implikasi dari tipologi Perenial Esensialis Salafi terhadap fungsi pendidikan Islam antara lain :
a.       Melestarikan (mempertahankan) nilai dan budaya masyarakat salaf, karena ia dipandang sebagai masyarakat ideal.
b.      Pengembangan potensi dan interaksinya dengan nilai dan budaya masyarakat era salaf.
2.2.2. Parenzial Esensialis Madzabi
Tipologi Parensial esensialis Madzabi adalah tipologi filsafat pendidikan Islam yang lebih menonjolkan wawasan kependidikan islam yang tradisional dan berkecenderungan untuk mengikuti aliran, pemahman atau doktrin, serta pola-pola pemikiran sebelumnya yang sudah dianggap relatif mapan.
Secara umum parameter tipologi ini adalah :
a.       Bersumber dari Al-qur’an dan Hadist.
b.      Regresif ke masa pasca salaf / klasik.
c.       Konservalif.
d.      Mengikuti aliran, pemahaman dan pemikiran terdahulu yang dianggap mapan.
e.       Wawasan kependidikan Islam yang tradisional dan berorientasi masa silam.
Sedangkan ciri-ciri tipologi ini antara lain :
a.       Menekankan pada pemberian syariah dan kasyiyah  terhadap pemikiran sebelumnya.
b.      Kurang ada keberanian untuk mengkritisi atau mengubah substansi materi pendahulunya.
Adapun implikasi tipologi ini terhadap fungsi pendidikan Islam yaitu :
a.       Melestarikan dan mempertahankan nilai dan budaya serta tradisi dari satu generasi ke generasi berikutnya.
b.      Pengembangan potensi dan interaksi dengan nilai dan budaya masyarakat terdahulu
2.2.3. Modernis
Tipologi Modernis adalah tipologi yang lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang bebas modifikatif, progresif dan dinamis dalam menghadapi dan merespon tuntutan dan kebutuhan dan lingkunganya.
Tipologi ini mempunyai parameter sebagai berikut :
a.       Bersumber dari Al-qur’an dan Al-Hadist.
b.      Bebas modifikatif tapi terikat oleh nilai-nilai kebenaran universal (Allah).
c.       Progresif dan dinamis dalam menghadapi dan merespons tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan lingkungannya.
d.      Wawasan kependidikan Islam kontemporer.
Ciri-ciri tipologi ini antara lain :
a.       Tidak berkepentingan untuk mempertahakan dan melestarikan pemikiran dan sistem pendidikan para pendahulunya.
b.      Lapang dada dalam menerima dan mendengarkan pemikiran pendidikan dari manapun dan siapapun untuk kemajuan pendidikan Islam.
c.       Selalu menyesuaikan dan melakukan penyesuaian kembali pendidikan Islam dengan tuntutan perubahan sosial dan perkembangan iptek.
Sedangkan implikasi tipologi modernis ini terhadap fungsi pendidikan Islam adalah :
a.       Pengembangan potensi individu secara optimal.
b.      Interaksi potensi dengan tuntutan dan kebutuhan lingkungannya.
c.       Rekonstruksi pengalaman secara terus menerus agar dapat berbuat sesuatu yang intelegent dan mampu melakukan penyesuaian dan penyesuaian kembali dengan tuntutan dan kebutuhan lingkungannya.
2.2.4. Perenial – Esensial Kontekstual – Falsifikatif
Tipologi Perenial – Esensial Kontekstual falsifikatif adalah tipologi yang mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan melakukan konstektualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangkan wawasan-wawasan kependidikan Islam masa sekarang selaras dengan tuntutan perkembangan  ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial yang ada.
Tipologi ini mempunyai parameter sebagai berikut :
a.       Bersumber dari Al-qur’an dan al-sunnah / hadist.
b.      Regresif dan konservatif dengan melakukan kontektualisasi dan uji falsifikasi.
c.       Rekonstruksif yang kurang radikal.
d.      Wawasan kependidikan Islam yang concern terhadap kesinambungan pemikiran pendidikan Islm dalam merespon tuntutan perkembangan iptek dan perubahan sosial cultural yang ada.
Sedangkan ciri-ciri tipologi ini antara lain :
a.       Menghargai pemikiran pendidikan islam yang berkembang pada era salaf, klasik dan abad pertengahan.
b.      Mendudukkan pemikiran pendidikan Islam era salaf, klasik dan abad pertengahan dalam konteks ruang dan zamannya untuk difalsifikasi.
c.       Rekonstruksi pemikiran pendidikan Islam terdahulu yang dianggap kurang relevan dengan tuntutan dan kebutuhan era kontemporer.
Implikasi tipologi ini terhadap fungsi pendidikan Islam sebagai berikut :
a.       Pengembangan potensi.
b.      Interaksi potensi dengan tuntutan dan kebutuhan lingkungannya.
c.       Melestarikan nilai-nilai ilahiyah dan insaniyah sekaligus menumbuhkembangkannya dalam konteks perkembangan iptek dan perubahan sosial cultural yang ada.
2.2.5. Rekonstruksi Sosial  Berlandaskan Tauhid
Tipologi ini merupakan tipologi yang lebih menonjolkan sikap proaktif dan antipatifnya, sehingga tugas pendidikan adalah membantu agar manusia menjadi cakap dan selanjutnya mampu ikut bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakatnya.
Parameter tipologi ini antara lain :
a.       Bersumber dari Al-qur’an dan al-sunnah/ hadist.
b.      Progresif dan dinamis.
c.       Rekonstruksi sosial berkelanjutan yang dibangun dari bottom up, grass root dan plurarisme.
d.      Wawasan kependidikan Islam yang proaktif dan antisipatif dalam menghadapi percepatan perkembangan iptek, tuntutan perubahan yang tak terduga dan eksponensial, dan berorientasi ke masa depan.
Ciri-ciri tipologi ini adalah :
a.       Tidak menampilkan konstruk tertentu yang closed ended tetapi konstruk yang terus dikembangkan bolak balik antara empiri dan konsep teori.
b.      Rekonstruksi sosial dikembangkan post paradigmatic atau paradigmanya terus dikembangkan.
c.       Komitmen terhadap pengembangan kreatifitas yang berkelanjutan.
d.      Dalam menghadapi keragaman budaya, moral hidup ditampilkan dalam a fair justice dan mampu membuat overlapping concensus tata nilai.
Sedangkan implikasi ini terhadap fungsi pendidikan Islam ada sebagai berikut :
a.       Menumbuhkan kreatifitas peserta didik secara berkelanjutan.
b.      Memperkaya khazanah budaya, manusia, memperkaya isi nilai-nilai insani dan ilahi.
c.       Menyiapkan tenaga kerja produktif serta mengantisipasi masa depan atau memberi corak struktur kerja masa depan.
d.      Ketiga fungsi tersebut intinya untuk mengembangkan manusia agar menjadi cakap atau kreatif untuk selanjutnya mampu bertanggung jawab terhadap pegembangan masyarakatnya.
2.3. Implikasi Tipologi Filsafat Pendidikan Islam Terhadap Pengembangan Kurikulum PAI
Menurut Muhaimin, setidaknya terdapat dimensi-dimensi yang bisa dikembangkan dalam perspektif tipologi perenial-esensialis salafi, perenial-esensialis madzhabi, modernis, dan perennial-esensialis kontekstual-falsifikatif. Lebih lanjut, ada pula dimensi-dimensi yang perlu dikembangkan dalam perspektif tipologi rekonstruksi social yang berlandaskan tauhid, terutama dalam membentuk dan mengembangkan kesalehan individu dan social sekaligus.[5]
Lebih lanjut, implikasi tipologi-tipologi filasafat pendidikan Islam ini akan secara terperinci diuraikan pada implikasinya terhadap komponen-komponen kurikulum pendidikan Agama Islam yang meliputi : tujuan, isi, strategi pembelajaran dan evaluasinya.
2.3.1. Tipologi Perenial-Esensialis Salafi
Banyak implikasi dari tipologi ini bagi pengembangan kurikulum. Dari sisi tujuannya, menjadikan tujuan pendidikan agama diorientasikan pada upaya:
a.       Membantu peserta didik dalam menguak, menemukan dan menginternalisasikan kebenaran masa lalu.
b.      Menjelaskan dan menyebarkan warisan sejarah dan budaya salaf melalui sejumlah inti pengetahuan.
Dengan tujuan-tujuan semacam ini, maka pengembangan kurikulum pendidikan agama islam ditekankan pada doktrin-doktrin agama, kitab-kitab besar, kembali pada hal-hal yang utama dan esensial, serta mata pelajaran kognitif sebagaimana yang ada pada masa salaf.
Sedangkan metode pembelajarannya bisa dilakukan dengan ceramah dan dialog, diskusi atau perdebatan, dan pemberian tugas. Manajemen kelasnya lebih diarahkan pada pembentukan karakter, keteraturan, keseragaman, bersifat kaku, tetap dan sesuai tatanan. Evaluasinya menggunakan ujian-ujian essay, tes-tes diagnotis, tes prestasi belajar, dan tes kompetensi berbasis amaliah. Adapun peranan guru adalah sebagai figure yang memiliki otoritas tinggi, memiliki kebijakan masa lalu, penyebar kebenaran, dan orang (sarjana) yang ahli di dalamnya.
2.3.2. Tipologi Perenial-Esensialis Mazhabi
Bertolak dari karakteristiknya, maka tujuan pendidikan agama Islam diarahkan pada upaya :
a.       Membantu peserta didik dalam menguak, menemukan dan menginternalisasikan kebenaran-kebenaran agama sebagai hasil interpretasi ulama pasca salaf al-salih atau masa klasik dan pertengahan.
b.      Menjelaskan dan menyebarkan warisan ajaran, nilai-nilai dan pemikiran para pendahulunya.
Dengan tujuan di atas, maka pengembangan kurikulumnya ditekankan pada doktrin-doktrin dan nilai-nilai agama sebagaimana tertuang dan terkandung dalam kitab-kitab ulama terdahulu, yang berisi hal-hal utama dan esensial, serta mata pelajaran kognitif sebagaimana yang ada pada masa pasca salaf.
Metode pembelajarannya bisa dilakukan melali ceramah dan dialog, diskusi atau perdebatan dengan tolok ukur pandangan imam-imam mazhabnya, dan pemberian tugas. Sedangkan manajemen kelas, evaluasi, sedangkan peranan guru, hampir sama dengan tipologi sebelumnya.
2.3.3. Tipologi Modernis
Dalam tipologi ini, tujuan pendidikan agama Islam diorientasikan pada upaya memberika ketrampilan-ketrampilan dan alat-alat kepada peserta didik yang dapat dipergunakan untuk berinteraksi dengan lingkungannya, sehingga ia bersikap dinamis dalam menghadapi dan merespon tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan lingkungannya, serta mampu menyesuaikan kembali dengan tuntutan perubahan dan perkembangan iptek dengan dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran universal (Allah).
Dengan tujuan tersebut, maka pengembangan kurikulumnya  ditekankan pada penggalian problem-problem yang tumbuh dan berkembang di lingkungan peserta didik.
Metode pembelajarannya dilakukan melalui upaya cooperatif activities atau cooperatif learning, metode project, dan metode ilmiyah (scientific method). Manajemen kelasnya lebih diarahkan pada pemberian kesempatan pada peserta didik untuk berpartisipasi, terlibat aktif, serta proses belajar mengajar yang demokratis. Evaluasinya lebih banyak menggunakan evaluasi formatif dan on-going feedback. Sedangkan peranan guru adalah fasilitator dan yang memimpin serta mengatur pembelajaran.
2.3.4. Tipologi Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif
Adapun tujuan pendidikan agama Islam dari tidak tipologi ini adalah :
a.       Membantu peserta didik dalam menemukan dan menguak kebenaran masa lalu atau masa klasik dan pertangahan.
b.      Menjelaskan dan menyabarkan warisan ajaran salaf atau pendahulunya yang dianggap mapan dalam ujian sejarah.
Di samping sebagai pelestarian doktrin dan nilai agama, maka pengembangan kurikulumnya juga ditekankan pada penggalian problem-problem yang tumbuh dan berkembang di lingkungan anak didik.
Adapun metode pembelajarannya menggunakan metode ceramah dan dialog, diskusi atau perdebatan, dan pemberian tugas. Manajemen kelasnya lebih diarahkan pada pembentukan karakter, teratur, seragam, kaku dan tersruktur, tepat sesuai tatanan. Evaluasinya dengan ujian obyektif terstandar, tes diagnostik, tes prestasi belajar, dan berbasis ilmiyah.
Sedangkan figur guru adalah pemegang otoiritas tertinggi, penyebar kebenaran, dan orang (sarjana) di bidangnya.
2.3.5. Tipologi Rekonstruksi Sosial Berlandaskan Tauhid
Menurut tipologi ini, bahwa pendidikan agama Islam bertujuan untuk meningkatkan kepedulian dan kesadaran peserta didik akan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat manusia, dan mengajarkan ketrampilan yang diperlukan untuk memecahkan prolem tersebut.
Kurikulumnya memusatkan pada masalah-masalah social dan budaya yang dihadapi masyarakat dan mengharapkan agar peserta didik dapat memecahkan masalah-masalah tersebut. Metode yang digunakan antara lain, simulasi, bermain peranan, intership, serta belajar di masyarakat. Manajemen kelasnya diupayakan untuk tidak terikat pada belajar di dalam kelas saja, tetapi justeru lebih bnyak di luar kelas.
Evaluasinya menggunakan evaluasi formatif. Sedangkan interaksi guru dan peserta didik bersifat dinamis, kritis, progresif, terbuka, bahkan bersikap pro aktif dan antisipatif. Serta menggunakan nilai kooperatif dan kolaboratif, toleran, serta komitmen pada hak dan kewajiban asasi manusia.






BAB III
PENUTUP

3.1. Simpulan 
3.1.1. Dalam pandangan Muzayyin Arifin, filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya adalah konsep berpikir tentang kependidikan yang bersumber atau berlandaskan ajaran agama Islam, tentang hakikat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam.
3.1.2.  Menurut Muhaimin, ada 5 macam tipologi filsafat Pendidikan Islam, yaitu:
a.         Penerial Esensialis Salafi
b.        Parenzial Esensialis Madzabi
c.         Modernis
d.        Perenial – Esensial Kontekstual – Falsifikatif
e.         Rekonstruksi Sosial  Berlandaskan Tauhid
3.1.3. Implikasinya  terhadap  pangembangan kurikulum PAI filsafat pendidikan Islam mempunyai pengaruh kuat terhadap perkembangan dan membentuk keshalihan setiap individu sekaligus sosial.
3.2. Saran
Sebagai seorang pendidik sebaiknya mempelajari Filsafat pendidikan islam karena dengan filsafat tersebut dapat membantu untuk membentuk suatu pemikiran yang sehat, dan dapat dijadikan sebagai asas bagi upaya menilai keberhasilan pendidikan, dijadikan sandaran intelektual dalam dunia praksis pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Revisi), Cet. II, Jakarta, PT. Bumi Aksara, 2005.
Suharto, Toto, Filsafat Pendidikan Islam, Jogjakarta, Ar-Ruzz, 2006.
Marimba, Ahmad D, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, PT. Al-Ma’arif, 1986.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tingggi, Jakarta, Raja Grafindo, 2005.



[1] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006), hal. 26.
[2] Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986), Cet. VI, hal. 10.
[3] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hal. 1.          
[4] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tingggi, (Jakarta: Raja Grafindo, 2005) hal. 109-112.
[5]  Ibid., hal. 125.